Tanggapan Saya untuk “Tolong Jangan Bilang Anakku ‘Pintar'”

image

Entah mengapa, setelah baca artikel ‘Tolong Jangan Bilang Anak Saya “Pintar”‘, di dalam hati saya seperti ada yang mengganjal. Karena itu, tadi saya coba kasih tanggapan deh. Berikut tanggapan dari saya: *Semoga saja bisa jadi solusi tambahan yang melengkapi*

👇👇👇

[7:53AM, 5/28/2015] @YsGunawan: Nice post, Mi! Hatur nuhun udah share. :D:D:D:D:D

[7:54AM, 5/28/2015] @YsGunawan: Kesimpulan dari saya: Apresiasi ternyata punya dampak negatif. Contohnya adalah ketika apresiasi diarahkan pada hasil, bukan usaha yang dilakukan kayak contohnya di atas. Penulis pun udah nyampein gimana cara mengantisipasi sekiranya anaknya terpapar apresiasi-hasil. Yaitu, langsung nimpalin pake apresiasi-proses.

[7:54AM, 5/28/2015] @YsGunawan: Pertanyaannya, itu kan bentuk pengantisipasian dari eksternal si anak. Sementara itu si anak belum tentu selalu didampingi si Ibu yang udah ngerti hal ini. Si Ibu pun gak bisa ngendaliin orang-orang biar gak ngasih apresiasi-hasil. Berangkat dari situ, menurut teman-teman, ada gak cara biar si anak itu sendiri punya mekanisme internal –yang dengannya dia bisa IMUN sama jenis apresiasi apapun, FM/GM sama aja?

Sedangkal pengetahuan saya, adab Islam udah punya solusi ampuh terkait hal ini. Islam punya cara biar anak-anak kita, atau kita, IMUN terhadap segala jenis apresiasi yang itu berdampak buruk kayak apresiasi-hasil di atas.

[7:55AM, 5/28/2015] @YsGunawan: Coba perhatikan ini:

  • Dalam surat al Kahfi, selepas membangun tembok penghalang dengan teknologi canggih saat itu, Zulkarnain bilang gini “haadzaa rahmatun min Rabbi”, bahwa dia bisa ngebangunin tembok itu bukan semata atas usaha dia, tapi atas kemudahan dan pertolongan (Rahmat) Allah yang banyak.
  • Umar bin Khattab mempopulerkan ini: kalau benar, itu datangnya dari Allah. Kalau ada salah, itu dari diriku sendiri dan setan.
  • Atau dua ayat berbeda yang tampak seperti kontradiktif ini: “wa khuliqal insaanu dha’iifa” sama “laa yukallifullahu nafsan illa wus’ahaa”. Di satu sisi Quran minta kita buat semangat pantang nyerah karena beban diturunkan tidak melebihi kapasitas kita tuk nanggungnya. Tapi di ayat lain Quran pun ngingetin bahwa sekalipun begitu tetep aja manusia itu ‘dha’iifa’-lemah butuh bantuan Allah, dst.

Terus apa kaitannya antara 3 poin di atas sama ketahanan kita dalam menghadapi paparan ‘tepuk tangan’ yang mematikan?

Kita perlu menanamkan cara berpikir ke anak-anak, dan tentunya juga ke dalam benak kita, bahwa:

  • Sekiranya kita berhasil melakukan sesuatu/mencapai sesuatu, disamping itu karena usaha kita yang biasanya minim, itu juga karena Allah sudah menolong kita dengan memberi kita kekuatan, kemudahan, kelancaran, sehingga kita bisa berusaha sampai akhir dan mencapai hasil tersebut. Tanamkan ke anak, bahwa ketika dia berhasil melakukan sesuatu, di samping itu karena dia udah berusaha keras, juga karena Allah sudah membantunya, memberinya kekuatan, juga kelancaran sehingga dia biasa sampai pada titik itu. Ajari anak saat mendapat apresiasi untuk menjawab ‘Alhamdulillah, ini atas izin dan pertolongan Allah’.
  • Apresiasi terhadap usaha memang bisa memicu si anak untuk berupaya/belajar lebih ke depannya. Tapi, apresiasi-usaha saja rasanya tidak cukup. Karena pada titik tertentu si anak bisa terjebak sama kayak gini:  ‘Padahalkan aku udah berusaha sekuat tenaga, tapi kok malah begini dan begitu…, apa aku ini memang begini, apa aku ini begitu?’, yang itu pada akhirnya bisa jadi mentalblock juga bagi si anak –sepertinya. Hehe maap sotoy. Nah, sepertinya di samping kita perlu menanamkan ke benak mereka bahwa setiap kesulitan pasti bisa mereka atasi kalau mereka berusaha lebih, kita pun perlu menanamkan bahwa –bagaimana pun juga, sekalipun dia bisa mengahadpi itu semua dengan usaha– tetep saja dia itu lemah kalo tanpa bantuan Allah, ada hal yang gak bisa dikendalikan oleh usahanya, yang artinya dia membutuhkan bantuan Yang Berkuasa atas segala sesuatu. Dengan ini, si anak akan terselamatkan dari bahaya materialisme (menyandarkan harapan pada sesuatu hal yang terlihat saja, Godless), yang akibatnya: seolah2 hukum sebab-akibat di dunia ini tunduk terhadap usahanya dia.

Jadi, cara yang bisa dilakukan biar si anak bisa IMUN sama apresiasi-hasil yang mematikan tadi adalah dengan menanamkan nilai2 TAUHID ke dalam hati-pikirannya. Kalo saya boleh meringkasnya, mungkin dua hal inilah yang perlu ditanamkan tersebut:

  1. “Kalo pun aku mencapai sesuatu, itu karena Allah banyak membantuku dalam prosesnya. Jadi, kalau ada yang memuji capaianku, aku kembalikan pujian itu kepada Allah yang telah membantuku”. Cara menanamkannya bisa begini: kalo ada yang bilang ‘Wah, fulan pintar ya bisa menyelesaikan ini’, Kita timpali dengan: Alhamdulillah, atas pertolongan Allah, fulan sudah bisa berusaha begini begitu’. Terus kalau bisa tambahin ke anaknya, ‘alhamdulillah ya kamu bisa mencapai ini, udah terima kasih sama Allah belum? Allah kan sudah bantu kamu?” terus kalo ditanya ’emang Allah bantu apa, Bu?’ tinggal jawab ‘Allah yang ngasih kamu kesehatan, ngasih kamu tangan yang bisa digerakan, ngasih kamu hidung untuk bernafas, jadi kamu bisa nyelesaikan ini semua deh’
  2. “Aku harus berusaha, tapi apalah dayaku kalau aku tidak dibantu-Nya, aku butuh bantuan-Nya”. Ini perlu ditanamkan saat si anak sedang berusaha. Jangan sampai si anak menyandarkan harapan pencapaiannya kepada usaha dia saja. Arahkan anak untuk ‘melibatkan’ Allah dalam setiap usahanya. Kalau ini kurang ditanamkan, jangan kaget kalau suatu saat nanti anak kita nunda-nunda shalat dengan alasan besok mau ujian, sementara banyak banget materi yang belum ngerti, sibuk belajar, jadi sayang banget waktu kalo terbuang untuk shalat dan berdoa. Artinya dengan menanamkan ini, anak akan terselamtkan dari kehidupan yang Godless: menganggap shalat/doa gak begitu pengaruh, dst. Cara menanamkannya, misalnya: “Gimana, kamu bisa? Kok kelihatannya sulit ya? Kamu sudah berdoa sama Allah belum? Ayo tetap berusaha dan jangan lupa berdoa supaya Allah mau bantu kamu”.

    👇👇👇

    Dengan demikian, menurut analisis sotoy saya, kalau anak growth mindset bisa lebih kuat bertahan dan tumbuh dibanding anak fixed mindset, maka anak yang punya mindset TAUHID yang KUAT seharusnya akan jauh lebih survive dan tumbuh dibanding anak growth mindset tok (Godless). Karena, mereka berhasil mempertautkan kelemahan mereka dengan Ke-Maha Perkasa-an Allah. Dengan apa mempertautkannya? Doa dan usaha keras mereka. Dan, semua itu memang mesti dimulai dari diri kitanya sih. #Hazeg #SokIyeBanget XD

    Semoga bermanfaat :))

Tolong Jangan Bilang Anakku “Pintar”

image

Pagi tadi saya dapet artikel menarik ini di Grup Whatsapp BPH-Deputi Salam UI i5. Kalau mau baca, harus sampai selesai ya.
😀
Sumber tulisannya dari sini: http://ourlearningfamily.blogspot.com

👇👇👇

Good Article…

Tolong jangan bilang anakku “pintar”…. (Fixed Mindset Vs Growth Mindset)

Emangnya kenapa? Kata pujian “anak pintar” itu bukannya sebuah tanda penghargaan ya buat si anak? Plus dobel fungsi jadi topik obrolan basa-basi di ruang tunggu dokter, bangku di toko mainan, dan sambil mengawasi anak-anak main di taman? Triple plus di acara arisan keluarga, saat semua ponakan/cucu/kakak-adik lagi berkumpul bersama.

Lalu, ada apa dengan label “pintar” itu?

Beberapa bulan yang lalu, saya diberikan kesempatan untuk bantu menterjemahkan artikel pendidikan untuk sebuah program sekolah. Di antara sekian banyak artikel, satu yang benar-benar membuat saya berhenti, membaca berulang-ulang, dan berpikir kembali adalah artikel mengenai fixed vs. growth mindset.  Kedua kubu tersebut merupakan bahasan penelitian berjangka yang dilakukan oleh Carol Dweck, yg dipublish dalam bukunya yang berjudul Mindset: The New Psychology of Success (2006).

Dweck meneliti efek jenis pujian yang diberikan ke anak-anak:

satu kelompok dipuji “kepintarannya” (“You must be smart at this.”)

dan kelompok yang lain dipuji atas usaha (effort) mereka (“You must have worked really hard.”) setelah setiap anak menyelesaikan serangkaian puzzle non-verbal secara individual.

Puzzle di ronde pertama memang dibuat sedemikian mudah sehingga setiap anak pasti bisa menyelesaikannya dengan baik. Setelah dipuji, anak-anak tersebut diberikan pilihan jenis puzzle buat ronde kedua: satu puzzle yang lebih sulit daripada puzzle di ronde pertama, namun mereka akan belajar banyak dari mencoba menyelesaikan puzzle tsb; dan pilihan puzzle lainnya adalah puzzle yang mudah, serupa dengan yang di ronde pertama.

Dari kelompok anak-anak yang dipuji atas usaha mereka, 90% anak-anak memilih rangkaian puzzle yang lebih sulit. Mereka yang dipuji atas kepintarannya sebagian besar memilih rangkaian puzzle yang mudah.

Lho, kenapa anak-anak yang dipuji “pintar” malah memilih puzzle yang mudah??

Menurut Dweck, sewaktu kita memuji anak karena kepintarannya, kita menyiratkan bahwa mereka harus selalu mempertahankan label “anak pintar” tsb, sehingga nggak perlu ambil risiko yang menyebabkan mereka akan berbuat salah alias terlihat “tidak pintar” (“look smart, don’t risk making mistakes.”)

Dalam ronde tes berikutnya, anak-anak itu tidak mempunyai pilihan: mereka semua harus menyelesaikan rangkaian puzzle yang diberikan memang dibuat sulit, 2 tahun di atas usia anak-anak itu. Seperti yang sudah diperkirakan, semua anak gagal menyelesaikannya. Namun, kelompok anak-anak yang dari awal dipuji atas usaha mereka menganggap mereka kurang fokus dan kurang keras upayanya untuk menyelesaikannya. Mereka menjadi sangat terlibat dan berusaha mencoba semua solusi yang dapat mereka pikirkan. Tak banyak dari mereka yang berkomentar bahwa “tes ini adalah yang paling saya sukai”.. kok gitu? Sedangkan kelompok yang dipuji atas kepintarannya menganggap kegagalan mereka sebagai bukti bahwa mereka sebenarnya memang tidak pintar. Tim peneliti mengamati bahwa anak-anak ini berkeringat dan tampak sangat terbebani selama mengerjakan tes.

Nah, setelah semua mengalami kegagalan, pada ronde tes terakhir, mereka diberikan tes yang dibuat semudah tes pada ronde pertama. Kelompok yang dipuji atas usaha mereka mengalami peningkatan skor hingga 30%. Sedangkan anak-anak yang diberitahu bahwa mereka “anak pintar” malah menurun skornya hingga 20%.

sudah curiga bahwa jenis pujian akan memberikan dampak, namun dia tidak menyangka sejauh ini efeknya. Menurutnya, “penekanan pada usaha memberikan anak-anak variabel yang bisa mereka kendalikan, mereka akan menilai bahwa mereka sendirilah yang pegang kendali atas kesuksesan mereka. Sedangkan penekanan pada kecerdasan alami justru mengambil kendali dari tangan anak dan menyebabkan cara berespons yang jelek terhadap sebuah kegagalan.”

Pada wawancara yang dilakukan setelahnya, Dweck menemukan bahwa mereka yang menganggap bahwa kecerdasan alami adalah kunci dari kesuksesan mulai mengecilkan pentingnya upaya yang diberikan. Penalaran mereka adalah “aku kan anak pintar, aku tidak perlu susah-susah berusaha”. Ketika mereka diminta untuk berusaha lebih keras, mereka malah menganggap hal tersebut sebagai bukti bahwa mereka nggak sepintar anggapan mereka. Efek jenis pujian ini terlihat pada penelitian yang dilakukan pada anak-anak pada kelas sosioekonomi yang berbeda-beda, baik pada laki-laki maupun perempuan, bahkan pada anak prasekolah juga menunjukkan adanya pengaruh.

Okay. Nafas dulu. Setidaknya, saya setelah baca hasil penelitiannya harus ambil nafas dan bercermin. Anak sulungku sudah sering dipuji “pintar”, alhamdulillah. Tapi memang pada beberapa kesempatan, dia enggan mencoba hal-hal baru (yang menurutnya susah) dan sempat mudah menyerah ketika mengalami hambatan, misalnya dalam upayanya membuat kreasi Lego sendiri (tanpa instruksi) atau saat dia latihan lagu piano yang lebih susah buat lomba. Kalau menggambar bebas, masih suka frustrasi saat “salah” dan minta ganti kertas atau malah ganti kegiatan yang lain. Oh my little boy, I’m so sorry. I didn’t know. Apalagi dia termasuk anak yang introvert dan lebih mudah cemas. Nah, jelas kan kenapa penelitian ini sangat menohok buat saya.

Meskipun saya dulu pernah baca artikel yang menyebutkan kenapa lebih baik memuji upaya daripada hasil, namun saya baru kali ini membaca penelitian yang terkait. Dan jadi sadar betul betapa besar efeknya jenis pujian yang kita berikan. Namun demikian, old habits die hard. Especially with the older generation. Gimana caranya saya ngasih tau ke mertua kalau mau muji cucunya tersayang, jangan bilang kalau dia “pinter” melainkan harus memuji upaya kerasnya? Padahal budaya kita sangat sarat dengan “label” pada anak-anak, dengan label “anak pintar” menjadi primadona segala label. Belum lagi kebiasaan membandingkan anak satu dengan anak lainnya, cucu satu dengan cucu lainnya. Oh boy, pe-er nya banyak banget ini.

Okay , balik lagi ke konsep growth vs. fixed mindset , jadi intinya anak-anak yang dipuji atas upaya mereka akan memiliki growth mindset, bahwa otak itu adalah sebuah otot, yang makin “dilatih” maka akan semakin kuat dan terampil. Dilatihnya ya dengan tantangan, masalah, dan kesalahan yang harus diperbaiki dan diambil hikmahnya. Sedangkan anak-anak dengan fixed mindset menanggap pintar/tidak pintar itu sudah dari sananya dan nggak bisa diubah. Jadi mereka cenderung menghindari hal-hal yang membuat mereka tidak terlihat pintar dan tidak menyukai tantangan, mementingkan hasil akhirnya.

Dweck memberikan beberapa perbedaan fixed vs. growth mindset dalam bukunya:

a.      Fixed mindset (FM)mengkomunikasikan ke anak-anak kalau sifat dan kepribadian mereka adalah permanen, dan kita sedang menilainya. Growth mindset (GM) mengkomunikasikan ke anak-anak kalau mereka adalah seseorang yang sedang tumbuh dan berkembang, dan kita tertarik untuk melihat perkembangan mereka.

b.     Nilai yg bagus akan diatribusikan pada “kamu emang anak yang pintar” pada FM. Sedangkan GM akan mengatakan “Nilai yg bagus!  Kamu telah berusaha keras/menerapkan strategi yang tepat/berlatih dan belajar/tidak menyerah.”

c.      Nilai yang jelek akan diartikan sebagai “kamu memang lemah pada bidang ini” dengan FM. GM akan mengatakan “saya suka upaya yang telah kamu lakukan, tapi yuk kita kerjasama lebih banyak lagi untuk mencari tahu bagian mana yang kamu belum pahami”. “Kita semua punya kecepatan belajar yang berbeda, mungkin kamu butuh waktu yang lebih lama untuk mengerti ini tapi kalau kamu terus berusaha seperti ini, aku yakin kamu akan bisa mengerti.” “Semua orang belajar dengan cara yang berbeda, ayo kita terus berusaha mencari cara yang lebih cocok untuk kamu.”

d.     FM: “wah, kamu cepet banget menyelesaikannya, tanpa salah lagi!” GM: “Ooops, ternyata itu terlalu mudah buat kamu ya. Saya minta maaf sudah membuang waktumu, ayo cari sesuatu yang bisa memberikan pelajaran baru buat kamu.”

e.      FM mementingkan kecerdasan atau bakat dari lahir. GM mementingkan proses belajar dan kegigihan berusaha (perseverance).

f.       FM percaya kalau tes mengukur kemampuan. GM percaya kalau tes mengukur penguasaan materi dan mengindikasikan area untuk pertumbuhan.

g.      Guru dengan FM menjadi defensif mengenai kesalahan yang dia lakukan. Guru dengan GM merenungkan kesalahannya secara terbuka dan mengajak bantuan dari anak-anak lagi supaya bisa menyelesaikan masalahnya.

h.     Guru dengan FM memiliki semua jawaban. Guru dengan GM menunjukkan ke anak-anak bagaimana dia mencari jawaban-jawaban tersebut.

i.        Guru dengan FM menurunkan standar supaya anak-anak bisa merasa pintar. Guru dengan GM mempertahankan standar yang tinggi dan membantu setiap siswa untuk mencapainya.

Hosh-hosh, mulai kelihatan kan bedanya? Kami sudah mulai berusaha mengubah cara kami memuji anak-anak, tapi menang butuh waktu dan upaya ekstra untuk mengubah kebiasaan yang sudah lama, apalagi dengan lingkungan teman-teman dan saudara dan orang-orang yang tidak dikenal yang SKSD. Plus, kosa kata “you worked hard… ” itu kalau diterjemahakan ke dalam Bahasa Indonesia itu masih terdengar tidak umum plus panjang, “kamu udah bekerja/berupaya keras ya untuk….”— masih lebih praktis bilang “anak pinter”, hehehe. Yah, namanya juga sudah membudaya. Belum lagi ada ucapan bahwa kata-kata adalah doa. Akupun sepakat dengan itu. Jadi jangan salah sangka, bukannya nggak boleh memuji, tapi pujilah upaya mereka. Dan penelitian ini khusus berkenaan dengan persepsi terhadap kecerdasan ya, bukan label-label lain seperti sholeh/sholehah, rajin, empatik, penyayang, dsb. Jadi pentingnya perubahan mindset dari fixed menjadi growth supaya anak-anak (dan kita sebagai orang tua juga) nggak terpaku hanya pada hasil. Kalau menurut saya, terlalu terpakunya masyarakat kita pada hasil malah melahirkan upaya-upaya negatif untuk mencapai hasil yang “baik” di mata orang, terlepas caranya. Makanya ada bocoran soal UN, contekan ulangan, lalu stress berlebihan atas sebuah kegagalan. Kalau pada anak sulung saya, ya kelihatan pas dia ngambek nggak mau lanjut latihan sebuah lagu di piano karena “susah”, nggak mau nyoba gambar karena takut “jelek”, dan nggak mau nyoba bikin freestyle build dari Lego karena “susah”.

Buat saya, kalau ada yang mengatakan anak-anak “pintar”, maka saya akali dengan langsung menimpali secara halus plus senyum manis dengan komentar atas usahanya anak-anak. Misalnya, tante A, “Wah Little Bug udah pinter main pianonya…”, lalu saya menimpali dengan “Alhamdulillah, Little Bug selama ini rajin latihan dan nggak nyerah kalau belum bisa.” Atau “Little Bug dah pinter ya bacanya” “lalu saya bilang “alhamdulillah, Little Bug tiap hari berusaha baca buku-buku baru dan kalau ada kata-kata yang susah, dia akan berusaha membacanya”. Intinya, nggak pernah lupa untuk memuji usaha/prosesnya. Dan nggak lupa mendoktrin secara berulang tentang otak sebagai otot yang semakin kuat kalau dilatih dengan tantangan. Intinya, menekankan bahwa they are special just the way they are. Bahwa kami bangga karena dia berusaha mencoba meskipun menantang, dan gak menyerah meskipun gagal. Hal-hal seperti itu yang suka tertutup oleh pujian “anak pintar”. Terlebih karena kami homeschool, jadi kelihatan banget gregetnya kalau anak belum bisa maupun kelihatan ketika dia sengaja menghindari sesuatu yang tampak “susah” atau “baru” buat dia, belum lagi kalau ngambek ketika gagal atau hasilnya “nggak perfect”. Jadi ngeh juga, mungkin salah satu alasan kenapa anak-anak Jepang itu begitu rajin adalah karena sejak kecil, pujian setelah melakukan sesuatu umumnya adalah “yoku ganbatta ne” atau “kamu sudah banyak berusaha” dan “otsukaresamadeshita” (terima kasih atas kerja kerasnya), mau apapun hasilnya.

Kita bisa berusaha dan perlahan, insyaaAllah akan lebih positif kepribadian anak-anak kita. Daripada mengeluhkan, mendingan berusaha dan berdoa, semoga Allah bisa membentuk jiwa anak-anak dengan kelembutan-Nya sehingga kelak menjadi anak-anak sholeh/sholehah yang berani menghadapi tantangan demi menghasilkan kebaikan. Semoga artikel ini bisa memberikan sudut pandang yang berbeda buat kita semua.

Referensi:

1.       Dweck, Carol. (2006). Mindset: The New Psychology of Success.

2.       Bronson, Po. (2007). How Not To Talk to Your Kids: The Inverse Power of Praise. http://nymag.com/news/features/27840/#

#selftalk

Apapun Bagaimanapun

image

Apapun, kondisi bagaimanapun, yang dengannya aku jadi lebih banyak berdoa, adalah karunia berharga.

Apapun, kondisi bagaimanapun, yang dengannya harap-takutku kepada-Nya semakin meraksasa, adalah nikmat tak terkira.

Apapun, kondisi bagaimanapun, yang dengannya terputus pergantunganku kepada manusia dan terpaut hanya kepada-Nya, adalah keadaan terbaikku sebagai hamba.

***

يَاحَيُّ، يَا قَيُّومُ، بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ، أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، وَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْن

“O Ever Living One, O Eternal One, by Your mercy I call on You to set right all my affairs. Do not place me in charge of my soul even for the blinking of an eye.”

Tajwid & Seni Membaca; Sedikit Diantara Banyak Wasilah Yang Diperlukan Untuk Membumikan Keagungan Al Qur’an | ust. Faris Jihady, Alhafidz

Dari dulu pengen gabung grup whatsapp itu. Dulu katanya kepenuhan. Sekarang kurang tahu deh (semoga salah satu anggotanya baca ini hehe). Alhamdulillah, lumayan terobati karena ust Farisnya punya ask.fm/farisjihady 😀 — btw, maaf komentarnya gak nyambung.. 😀

S E I Z E Y O U R S

image

Rangkuman Diskusi Grup Whatsapp Muhajirin-Anshor 6 bersama (alhafidz) ustadz Faris Jihady Hanifa, Lc

-Santri Pesantren Tahfidz Qur’an
Yambu’ul Qur’an Kudus
-S1 LIPIA Jakarta
-Saat ini Mahasiswa Akhir S2 Qur’an & Sunnah Studies, King Saud University, Riyadh Saudi Arabia.

“Trkait qiroah jawiyah (kejawa-jawaan) pndpt sy ga beda dg yg beredar
Intinya ada upaya takalluf (memaksakan) dlm membaca, dan ini tdk dibenarkan”

-Faris Jihady-

T (Tanya):
Maksudnya memaksakan utk masuk dgn langgam jawa sehingga tajwidnya salah2 ya?
Kl yg di MTQ itu gmn ya? Kadang ada yg bacaannya (mad/ghunnah) panjang bgt

J (Jawab):
ini jd perdebatan dri para ulama sekarang,mayoritas masyayikh yg sy tau,jika sudah melanggar tajwid ya tdk boleh
Syaikh Aiman Rusydi, guru besar qiraat di jeddah,mengharamkan.

T:
Kalau langgam Muammar ZA bgmn bangustadz?
Kata2nya masyhur smp saudi jg

J:
Muammar ZA asal usulnya ngambil dari qari2 mesir.
Langgam2 yg kita kenal dri qari2 tsb ada yg bilang asal usulnya bukan…

View original post 837 more words

Rezeki Dijemput, Berkah Dicari!

Rezeki bisa dijemput. Keberkahan dalam menjemputnya harus dicari. Kalau berkah itu berarti adanya tambahan kebaikan ke dalamnya, maka proses penjemputan rezeki pertama-tama harus bersih dari segala bentuk hal yang dilarang oleh syariat-Nya. Setelah itu, agar keberkahan turun, proses penjemputan rezeki pun perlu digulirkan di atas lintasan ikhtiar yang disukai-Nya.

*

Sebagai seorang desainer grafis, jujur saja saya sulit sekali lepas dari yang namanya CorelDRAW, Photoshop, Illustrator, dan cucu-cucunya. Atau dalam kaitannya dengan kebutuhan kantoran, saya pun sulit untuk lepas dari ketergantungan terhadap microsoft office. Oke lah kalau selama ini itu semua digunakan untuk belajar. Saya kadang menghibur diri dengan, “mungkin ada rukhshah/keringanan kalau untuk belajar mah“. Akan tetapi, tantangan datang saat saya mulai buka lapak usaha yang saya membutuhkan perangkat-perangkat lunak tersebut.

Halal kah usaha saya kalau pakai software crack-an? Kira-kira Allah suka atau gak suka ya kalau saya menjemput rezeki pakai software crack-an? Bukankah doa seseorang yang masuk ke dalam tubuhnya sesuatu yang haram itu tertolak? Baiklah, agaknya saya memang hanya punya dua pilihan: membeli lisensinya, atau meninggalkannya.

Saya pun langung surfing sana-sini, mencari tahu harga lisensi tiap software grafis yang saya gunakan –alhamdulillah, kalau OS Windows mah sudah dapat lisensinya sewaktu kuliah, gratis dari kampus. Dan, JEGER!!! Lumayan kaget lihat harga lisensinya untuk ukuran tebal kantong saat ini. CorelDRAW X7 sekitar Rp8jt++ (seumur hidup), Photoshop CC Rp3jt++ (per tahun), dst. Saya cuma bisa menghela nafas.

*

Allah pasti tahu maksud baik hamba-Nya. Sekarang mah, sambil nabung, saya mau belajar membiasakan pakai softwere pengantinya saja. Atau kalau mentok banget, barulah ngotak-ngatik pake trial version-nya. Bismaillah saja dah..

Disalahpahami Orang Lain

Di diskusi berkelompok itu kami membedah salah satu topik dalam bukunya Pak Fathi Yakan. Satu per satu menyampaikan hasil telaahannya. Sampai akhirnya tiba giliranku. Aku pun memaparkan begini dan begitu. Namun, aku kaget, ternyata hasil telaahanku kurang tersampaikan dengan baik. Aku menyampaikan X, tertangkapnya malah Y. Mungkin karena aku kurang pandai dalam membahasakan apa yang ada dalam benakku.

Tentu saja hal ini membuatku kurang nyaman. Terlebih, dengan pesan yang tertangkap (Y, seharusnya X) itu, aku menjadi terlihat seakan kurang mendalami topik sehingga aku keliru. Dalam hati aku pun bersuara, “Bukan. Maksudku bukan seperti itu. Aku tak ‘sepolos’ itu kok. :’D. Nah, iya betul. Sepakat. Aku pun berpendapat seperti itu kok, teman-teman.”

Ingin rasanya meminta waktu tuk mengklarifikasi. Hanya saja waktu diskusinya memang terbatas. Aku pun menghargai moderator yang berusaha memberi kesempatan kepada setiap anggota diskusi untuk memberikan argumennya masing-masing. Satu-satunya cara untuk klarifikasi adalah menyela/memotong pembicaraan pemberi tanggapan. Tapi rasanya itu tidak baik. Apalagi kami saat itu sama-sama baru pertama kali bertemu dan saling mengenal (nama).

Lantas apa yang aku lakukan?

Terbetiklah pertanyaan dalam hatiku: “Apakah aku benar-benar perlu mengklarifikasi? Untuk apa? Memangnya kerugian apa yang akan aku dapatkan saat aku membiarkannya begitu saja?” Beberapa pertanyaan itu membuat pikiranku sejenak menepi dari dinamika diakusi.

Nuraniku menjawab dengan sebentuk pertanyaan juga:
“Dibilang perlu, memang perlu sih. Tetapi, untuk apa ya? Agar diskusinya lebih mengarah atau apakah ini hanya untuk menyelamatkan wajahku dari penilaian rendah orang lain? Sebatas itu? Memangnya siapa saja yang dirugikan kalau hal ini aku abaikan? Apakah  melakukan klarifikasi itu bisa menjadi responku yang Allah sukai? Atau, yang mana yang kiranya lebih Allah sukai; Aku mengklarifikasi atau aku mengabaikannya –dengan konsekuensi aku seolah-olah belum paham dan belum banyak mendalami? Tapi, di balik itu semua, sebetulnya hikmah apa yang Allah tunjukkan kepadaku?”

Singkat cerita, akhirnya aku memilih untuk tidak mengklarifikasi. Aku membiarkan diskusi mengalir begitu saja sambil mengamati tanggapan serta koreksi dari rekan diskusi yang lain. Pilihan ini kuambil karena mata hatiku melihat, sepertinya keinginanku untuk mengklarifikasi telah ditunggangi hawa nafsu. Kalau aku mengklarifikasi, itu pasti lebih karena “aku tidak ingin rekan diskusiku menilai rendah diriku”, dibanding karena “aku ingin diskusi berjalan lebih terarah”.

Itulah pilihan yang benar-benar harus aku ambil. Sekalipun memiliki konsekuensi sebagaimana kusampaikan di awal tadi, toh keputusanku ini tidak akan begitu merugikan orang lain. Melalui miskomunikasi atau kesalahpahaman ini, agaknya Allah hendak mengujiku. Allah ingin melihat seberapa besar aku menghiraukan/mempedulikan penilaian manusia daripada penilaian-Nya. Rasanya memang berat (bagi hawa nafsuku). Akan tetapi, aku ingat nasihat guruku, bahwa perasaan berat dalam hal ini laksana rasa pahitnya obat yang harus kuminum agar penyakitku sembuh: penyakit ‘ingin dipandang baik’ yang nampaknya masih ada dalam hatiku. Ya, anggap saja ini sebentuk terapi bagi jiwaku.

Hikmah mendalam yang telah Allah tunjukkan padaku melalui “Disalahpahami Orang Lain” ini di antaranya:

Pertama, Aku harus lebih bijak dalam memandang setiap kejadian di sekitarku. Jangan sampai terjebak dengan fenomena permukaan. Aku harus bisa menggali lebih dalam tentang apa yang diinginkan Allah atasku melalui kejadian tersebut.

Kedua, hawa nafsu adalah ciptaan Allah yang juga bagian dari diriku. Apa yang disenangi hawa nafsu cenderung berdampak buruk bagiku –apabila dituruti terus menerus dan melebihi porsi yang aku butuhkan. Aku harus mewaspadai manuver-manuvernya. Sebagaimana nasihat dari Ibnu Athaillah dalam Bahjatun Nufus, bahwa: “Manuver hawa nafsu dalam perbuatan buruk tampak jelas, sedangkan manuvernya dalam perbuatan taat tampak samar tersembunyi –seperti riya, sum’ah, ujub, dst. Dan menyembuhkan yang tersembunyi itu amatlah sulit.” Maka dari itu, melalui kejadian ini, aku bersyukur kepada Allah yang telah menunjukkan kepadakau salah satu manuver hawa nafsu yang tampak samar dan nyaris tersembunyi. Semoga dengan ini aku pun kemudian bisa belajar cara menyembuhkan dan mengantisipasinya.

Ketiga, sebelum memberikan respon atas suatu kejadian, atau saat hendak melalkukan sesuatu, mekanisme check dan re-check harus berjalan dalam diriku. Aku harus berulang-ulang bertanya kepada diri sendiri; “Tindakan terbaik seperti apa yang harus aku berikan? Akankah Allah menyukai tindakanku tersebut? Adakah andil hawa nafsu dalam tindakanku ini? Bagaimana agar hawa nafsu tidak turut menunggangi tindakan ini?”, dan begitu seterusnya. Hingga aku benar-benar yakin tindakan yang akan aku lakukan semata-mata ditujukan untuk meraih ridha Allah. Dilakukan sebaik mungkin agar Allah suka, bukan agar dipandang baik manusia.

Segala Puji bagi Allah atas taufiq dan hidayah-Nya. Semoga Allah mengampuni perbuatan buruk yang pernah kita lakukan. Baik yang kita sadari, dan terutama yang kita tidak menyadarinya.

Pelajaran dari Mimpi Kematian

Aku tidak tahu, apakah ini termasuk mimpi buruk atau bukan. Yang jelas, aku lebih menangkapnya ini sebagai bentuk peringatan dari Allah. Untukku, juga untuk keluargaku. Karena itu aku memilih untuk menuliskannya.

Malam tadi aku bermimpi, kakekku –semoga Allah menjaganya– telah menghadap Allah. Dalam mimpi itu, aku pulang ke Bogor, kemudian melihatnya sudah terbaring kaku tertutup kain kafan di ruang keluarga rumahnya. Keluargaku semua berkumpul. Aku pun sempat berbincang dengan beberapa orang dari mereka tentang rencana pemakan serta ini itunya.

Semuanya tampak berduka. Terutama Kiki, Om kecilku yang sekarang masih duduk di bangku SMA. Saat kutanya tanteku, di mana Kiki, ia menunjuk ke arah kamar. Kudapati Kiki tertidur dengan posisi agak miring dan tengkurap. Suara cegukan tangisnya masih bisa kutangkap. Tangan kanannya menjadi bantalan dua bola mata yang masih mengeluarkan beberapa tetes air duka. Tentang siapa di antara keluargaku yang paling merasa kehilangan, mungkin Kiki inilah orangnya.

Kurang lebih seperti itulah apa yang pagi ini masih bisa aku lihat jelas dalam mimpiku malam tadi. Selebihnya aku tidak ingat apa-apa.

Ada yang sedikit janggal dalam mimpi itu.  Di mimpi itu aku tidak sedikit pun mengeluarkan air mata duka. Aku pun tidak terkejut saat melihat keluargaku berkumpul menemaninya untuk terakhir kali di ruangan itu. Padahal aku sangat sangat dekat dengan beliau, kakekku. Saking dekatnya, bahkan aku pun memanggilnya dengan panggilan Bapak. Sebagaimana panggilan ibu, om, dan tanteku terhadapnya. Aku lebih terlihat sebagai penonton yang bisa berinteraksi dan merasakan langsung adegan dalam mimpi itu.

Mimpi ini mengingatkanku akan masa-masa itu. Di awal tahun 2009 lalu, aku sempat mengalami ketakutan yang berlebihan terhadap kematian. Kapan pun, di mana pun, aku merasakan seolah-olah malaikat Izrail akan datang dari arah depan, samping, atau belakangku. Di kamar kosan, saat nyebrang jalan Margonda, di ruang kuliah, saat hendak shalat, sebelum tidur, dan di banyak tempat-kesempatan lainnya. Aku tidak tahu bagaimana awal dan penyebab munculnya perasaan seperti itu. Meskipun demikian, aku bersyukur, karena masa-masa itu menjadi sekotak waktu yang di dalamnya kutemukan titik balik hidupku yang pertama.

Di hari-hari yang panjang itu, kalau aku bukan sedang cemas atas maut yang tiba-tiba bisa datang menjemputku, aku pasti sedang khawatir bila maut akan menjemput salah satu anggota keluargaku. Mengingat di keluarga terdekatku dari ibu (nenek, kakek, om, tante, ibu, bapak, adik, sepupu) semuanya masih lengkap –bahkan sampai saat ini, alhamdulillah. Kami belum pernah ‘kehilangan’ satu pun anggota keluarga terdekat. Dan saat itu aku menyadari, perkara meninggal-ditinggalkan sebetulnya adalah perkara menunggu waktu yang Allah kehendaki saja. Yang jelas aku harus siap dengan segala kemungkinan. Begitu juga dengan keluargaku.

Singkat cerita aku bisa melalui masa-masa itu dengan penuh perenungan. Aku pun bisa menjalani hari dengan keyakinan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Kematian adalah keniscayaan yang harus aku siapkan. Aku harus siap meninggal duluan atau ditinggalkan. Tidak cukup di situ, aku pun perlu mengingatkan anggota keluargaku agar sama-sama bersiap. Maka aku pun merencanakan untuk menyampaikan ajakanku/pengingatanku ini satu per satu kepada mereka.

Melalui mimpi ini, aku pun tersadar, bahwa tugasku untuk mengajak keluarga untuk mempersiapkan hari akhirat belum aku tuntaskan dengan baik. Masih setengah-setengah. Selama ini aku lebih sering menyampaikannya secara tidak langsung. Mungkin dalam waktu dekat ini aku perlu menyampaikannya langsung ke poin utamanya. Bahwa aku dan keluargaku harus siap bilamana ada anggota keluargaku yang dipanggil Allah duluan. Agar kami tidak terlampau terkejut. Apalagi untuk yang pertama kalinya nanti, yang kami tidak tahu kapan akan terjadi. Entah tahun depan, bulan depan, atau mungkin pekan ini.

Aku hanya berharap saat ada di antara kami yang meninggal nanti, kami bisa menutupi duka kami dengan rasa tenang. Tenang karena kami menyaksikan anggota keluarga yang ‘meninggalkan’ kami itu sudah bersungguh-sungguh menyiapkan bekal akhiratnya, serta meninggal dalam amal dan keimanan terbaiknya. Aku pun memohon perlindungan Allah agar saat ada anggota keluarga kami yang harus menghadap-Nya, kami tidak ditimpakan duka yang berselimut kegelisahan. Gelisah karena kami merasa belum bisa menjadi saudara yang baik, yang bisa menjaganya dari panasnya api neraka.

Kututup tulisan tentang mimpiku ini dengan kalimat yang utama. Semoga bisa menjadi pengingat bagi kita semua:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ} [التحريم : 6]

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [QS. At-Tahrim: 6]

HE♡RT | قلب

image

Aku sangat kagum dengan bagaimana Ia menciptakan segumpal daging bernama hati.

Terbuat dari apakah hati?
Sehingga ia bisa menyulap pipit menjadi rajawali. Menumbuhkan domba menjadi singa. Dan di sisi lain, kadang, ia pun bisa menjadi kobaran api yang membakar bumi beserta isinya. Menjadi kerumunan air yang menenggelamkan benua. Serta menjadi gemuruh angin yang menghancurkan ladang dan menerbangkan rumah-rumah manusia.

Terbuat dari apakah hati?
Sehingga, di antara yang paling mengagumkanku adalah ia menjadi segumpal daging yang bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh mata. Bisa mendengar apa yang tak tertangkap oleh telinga. Bisa menyentuh apa yang lengan tak sanggup menjangkaunya. Bisa mengungkapkan jutaan makna yang lisan tak bisa menuturkannya. Juga bisa merasakan dan memikul apa yang tak terindra dan tak sanggup dipikul oleh raga.

Bagaimanakah cara kerja hati?
Sehingga ia pun menjadi simpul yang menyatukan raga-raga berbeda dalam ikatan yang sangat kuat, yang ikatan tersebut -atas izinNya- tidak bisa diputuskan oleh benda lain yang ada di bumi, langit, dan apa yang ada di antara keduanya.

Ya, Aku sangat kagum dengan bagaimana Ia menciptakan segumpal daging bernama hati.

Aku dan Al-‘Ashr (Part 1)

Alhamdulillah, suka sekali dengan surat satu ini. Isi suratnya mengatakan, bahwa agar aku tak merugi = aku harus beriman + beramal shalih + saling menasihati dalam kebaikan + saling nasihati dalam kesabaran. Semuanya harus lengkap. Tak boleh ada yang kurang satu pun. Inilah salah satu surat yang membawaku ke perjalanan yang cukup panjang, meninggalkan kesan mendalam sampai sekarang dan entah sampai kapan nanti.

Aku menebak-nebak, sepertinya al-‘Ashr membagi manusia menjadi tiga golongan. Golongan pertama adalah mereka yang tak mempedulikan arahan ini sama sekali –a’udzubillah. Golongan kedua adalah mereka yang tak mau merugi, tapi berhenti sampai di situ. Ketidakmaumerugian mereka baru sampai itikad dalam hati dan lisan saja, tak lebih. Adapaun golongan ketiga adalah mereka yang punya itikad dalam hati bahwa mereka tak mau merugi. Mereka pun berusaha dengan sungguh-sungguh agar tak masuk ke dalam kelompok orang yang merugi.

Aku memutar isi kepala agar aku masuk ke golongan ketiga. Mengingat, dalam lingkar individu, imanku naik-turun. Bahkan terkadang lebih banyak turunnya. Amal shalihku pun minimalis dan banyak celanya. Entah itu di niat yang belum murni, tersusupi ujub, dan cela-cela lainnya. Dalam radius yang lebih luas, amal sosialku pun terlalu biasa-biasa saja. Aku sering merasa sungkan untuk tawaa shaubil haq dan tawaa shaubish shabr. Kenapa? Kembali lagi ke lingkar individuku tadi.

Berangkat dari sini, aku mencoba membuat formulasi-formulasian berdasarkan sedikit ilmu yang ku ketahui. Fokus pertamaku adalah meningkatkan iman dan membuat sesuatu yang bisa berfungsi sebagai ‘shockbreaker’. Sebagaimana fungsinya pada sepeda motor, ‘shockbreaker’ iman ini harus bisa memantulkan keatas kembali imanku yang sempat turun. Fokus keduaku adalah menemukan cara agar dalam 24 jam aku bisa melakukan kebaikan dengan kuantitas dan kualitas yang keren. Juga meminimalisasi tindak lalai sampai ke angka nol. Dan ini harus menjadi habit.

Guruku mengatakan, iman itu naik turun, naik karena melakukan ketaatan. Turun karena melakukan kemaksiyatan. Maka dalam hal ini, langkah yang perlu aku lakukan adalah meninggalkan kemaksiyatan secara revolusioner –karena kalau sedikit-sedikit, nanti malah kembali dilakukan. Kemudian membangun habit dalam beramal shalih secara bertahap –karena kalau sekaligus, nanti cepat bosan. Aku memulainya dengan membuat daftar amal buruk/maksiyat yang biasa aku lakukan. Mulai dari kelas berat sampai kelas berat banget! –karena tak ada istilah dosa/maksiyat kelas ringan kalau melihat kepada Siapa aku berdosa dan melihat keadilan-Nya.

Aku tulis deh satu per satu. Mulai dari mengaakhirkan berangkat shalat berjamaah, tidak menundukan pandangan, ceplas ceplos, suuzhan, menunda-nunda pekerjaan, kurang tepat janji, ujub, sombong, dan begitu seterusnya. Itu semua harus ku tinggalkan secara revolusioner. Setelah itu aku pun coba membuat daftar kebaikan apa saja yang secara bertahap harus aku jadikan habit. Aku memulainya dari yang wajib dulu, kemudian yang utama, dst. Dan, tahukah kamu apa yang terjadi? Ternyata itu semua tak semudah yang ku bayangkan. Aku gagal, terus pesimis, dan ini terjadi berulang berkali-kali. Sampai akhirnya aku bertanya-tanya, di mana letak kesalahanku, apa pada prioritas, atau memang akunya saja yang payah kurang istiqamah?

Sedikit demi sedikit aku menemukan jawabannya: Aku harus menemukan kunci perbaikan diriku. Aku harus menemukan sesuatu, yang apabila aku menjadikannya kebiasaan dan menjaganya mati-matian, maka ia akan membawa perubahan secara signifikan pada amal lainnya. Sesuatu ini bekerja seperti poros roda. Saat ia berputar, berputar pula seluruh bagian rodanya. Aku teringat dengan teorinya Mas Charles Duhhig dalam buku the Power of Habit, beliau mengatakan sebetulnya dalam diri seseorang, juga dalam sebuah organisasi/perusahaan, ada aktivitas kunci yang apabila itu dijadikan kebiasaan maka akan membawa perubahan signifikan pada aktivitas-aktivitas lainnya. Teorinya ini berangkat dari penelitiannya atas beberapa perusahaan di Amerika yang mereka berhasil keluar dari krisis setelah melakukan perbaikan di aktivitas-kebiasaan kunci mereka. Tentunya ini diawali dengan menemukan habit kunci tersebut. *Insya Allah nanti aku akan buat tulisan khusus terkait teori ini. Karena terlalu panjang kalau aku ceritakan di sini.

Maka pertanyaan berikutnya adalah apa ya yang bisa/harus aku jadikan habit kunci? Aku coba mencari dan mencari berhari-hari. Akhirnya sampai saat ini Allah baru menunjukiku dua hal ini:

1. Apabila hati seseorang baik, baik pula seluruh tubuhnya.
2. Apabila shalat seseorang baik, baik pula amal lainnya.

Sesuai dengan hadits:

Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung).” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perkara yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka seluruh amalnya pun baik. Apabila shalatnya buruk maka seluruh amalnya pun akan buruk.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mujamul Ausath, II:512, no. 1880)

Senang sekali rasanya ditunjukki-Nya hal ini. Ternyata teori kebiasaan kunci itu sudah ada sejak zaman dulu loh. Bahkan Islam menempatkannya pada hal yang sanagat fundamental ini. Ini pasti obat yang mujarab. Karena Rasulullah yang langsung menyampaikan. Bertolak dari sini, saat itu akhirnya aku putuskan untuk memulai perbaikan iman dan amal dari dua hal ini: memperbaiki hati (bathin) dan memperbaiki shalat (zhahir).

Dengan bismillah aku mulai mencari tahu apa itu hati, apa perannya, apa yang ia suka, apa yang ia benci, apa makanan bergizi untuknya, apa penyakit yang bisa menjangkitinya, apa obatnya bila ia sakit, dan seterusnya. Dalam waktu yang sama aku pun mencari tahu perkara shalat. Aku jadi bertanya-tanya, sebetulnya apa yang menjadikan shalat punya kedudukan begitu tinggi dibanding amal lainnya –padahal kalau dilihat dari pengorbanan yang harus dikeluarkan, agaknya menahan haus lapar saat puasa, mengeluarkan uang untuk zakat, dan beribadah haji lebih banyak pengorbanannya ketimbang shalat. Jangan-jangan pandanganku terhadap shalat selama ini salah. Lantas bagaimana dong shalat yang baik itu, hal apa yang bisa merusak shalat, bagaimana agar shalat khusyu’ dan terasa lebih hidup, dan begitu seterusnya. Sampai sekarang dua hal ini terus aku dalami-renungi dengan bertanya kepada guru-guruku, dengan menyimak rekaman-rekaman audio/video kajian, juga membaca buku-buku seputarnya.

Bagaimana pengamalannya? Aku menaruh ukuran apakah hatiku sudah sehat dan shalatku sudah baik dari apa yang aku bisa rasakan secara langsung. Yaitu pada shalatku. Kenapa? Karena ukuran baiknya shalat ada pada khusyu’nya. Sementara khusyu’ itu letaknya dalam hati. Khusyu’ pun jadi manifestasi tertinggi dari sehatnya hati –kalau kata Said Hawa mah begitu. Aku lihat deh, apakah aku sudah shalat berjamaah di awal waktu atau masih menunda-nunda berangkat ke masjid? Apakah saat shalat aku masih kepikiran hal lain selain Allah atau bagaimana? Apakah perhatianku terhadapan perbaikan internal dan eksternal yang dimulai dari bersih-bersih hati dan perbaiki shalat sudah berpengaruh signifikan ke peningkatan iman dan amal yang lainnya? Dari sudut inilah aku mengukur perkembanganku dalam mengamalkan “illalladziina aamaanuu wa ‘amilush shaalihaati”.

Selang beberapa pekan aku mempraktekan formulasi-formulasianku tadi, aku pun melihat polanya. Ternyata kondisi hati yang baik (ingat Allah, merasa dilihat terus sama Allah) sangat memengaruhi seberapa bersungguh-sungguh aku menjadikan shalatku dan amal yang lainnya berkualitas. Kemudian seberapa baik shalatku itu sendiri ternyata benar-benar pengaruh ke seberapa baik aku menjaga janji, tepat waktu, disiplin, tidak menunda-nunda, dan bahkan hal kecil seperti menjaga kebersihan. Bahkan, benar kata AaGym, aku bisa melihat bagus tidaknya shalatku dari kebersihan tempat tinggalku. 😀

Di samping itu, selama beberapa pekan itu aku pun menemukan hal lain yang tak kalah menarik. Yaitu soal titik lemah yang dari arah sana hatiku mudah terinfeksi kuman-kuman maksiyat. Kemudian kuman-kuman maksiyat ini membuat imanku terganggu, jatuh sakit, dan amal shalihku lumpuh. Sistem kekebalan imanku pun seperti bekerja mencari titik lemah tersebut sekaligus mencari solusinya. Tahukah kamu di mana letaknya? Jujur, aku sendiri sulit menemukannya. Sampai sekarang masih meraba-raba. Apa sih yang biasanya membuatku lalai atau yang biasa membuat hatiku berasa kotor? Karena sulit aku temukan, yasudah aku coba tebak, sepertinya titik lemahku ada pada kurang jagonya aku dalam menjaga lisan, pandangan, dan pendengaran.

Ada sebuah postulat berbunyi begini:

Siapa yang mudah toleran terhadap melakukan kelalaian kecil, maka ia akan mudah toleran juga terhadap melakukan kelalaian-kelalaian yang lebih besar. Sebaliknya, siapa yang sangat menjaga diri dari kelalaian kecil, maka ia akan mudah dalam menjaga diri dari kelalaian-kelalaian besar.

Well, pada akhirnya ku fokuskan perhatianku pada tiga hal ini saja. Aku percaya, kalau aku mudah kebobolan dari arah sini, aku pun akan mudah kebobolan dalam hal-hal yang lebih besar. Aku semakin yakin bahwa aku harus peduli akan hal ‘kecil’ ini setelah melihat sebuah tulisan tentangnya di internet:

“Tidak istiqamah iman seseorang sebelum istiqamah hatinya, dan tidak akan istiqamah hatinya sebelum istiqomah lisannya”(HR Ahmad).

Aku pun bertanya ke Ust. Faris Jihady melalui akun ask.fm/farisjihady tentang maksud dari istiqamahnya lisan. Beliau menjawab, yang dimaksud dengan istiqamahnya lisan adalah

“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam” (HR. Bukhari-Muslim).

Di dalam hati aku berkata, “Tuuh kan, benar. Aku harus menjaga –bahkan sampai– hal ‘kecil’ seperti menjaga lisan yang aku dan sebagian dari kita sering mengabaikannya.” Nah loh. Aku jadi ingat selama ini banyak meracau yang kurang perlu di medsos, whatsapp, atau di tempat lain. *Maaf ya Allah, suring banget kelupaan.

Terkait pandangan, sudah cukup jelas. Apalagi setelah aku baca buku Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang jangan dekati zina. Begitu juga dengan menahan diri dari mendengar yang tak berguna. Maka aku pun harus mengalihkan pandanganku, pendengaranku, juga lisanku kepada sesuatu yang bernilai tinggi. Sehingga mereka tak berminat kepada hal-hal rendah. Aku kembali bertanya-tanya, apa yang bisa menyibukkan pandangan, pendengaran, dan lisanku dari hal yang membawa mudharat dan tidak berguna di atas? Mungkin jawabannya adalah Quran, ilmu, dan amal shalih itu sendiri. Aku jadi teringat dengan tagline Tahfizh Samrt 3 (program tahfizh di IQF),

“Setiap detik harus bernilai, agar kita semakin dekat dengan Allah!”

Aku ingat betul, saat itu aku mengusulkan ini menjadi tagline TS3 karena terinspirasi dari nasihatnya Ust Abdul Aziz Abdur Rouf bahwa seorang yang mau menjadi penghafal Quran hendaknya memerhatikan bahwa aktivitas menghafal Quran itu tujuannya agar kita bisa membaca Quran sebanyak-banyaknya setiap harinya. Seperti para sahabat, tabi’in, dan generasi terdahulu kita. Dan itu tidak akan terjadi kalau mataku lebih banyak tersibukkan oleh medsos ketimbang Quran, lebih banyak mendengar hal tidak penting ketimbang mendengar ilmu, atau hal bermanfaat lainnya. Dengan demikian, aku pun akhirnya menemukan obat pengangkal titik lemahku tadi. Ia pun sekaligus menjadi shockbreaker imanku: Quran (dzikr) dan Ilmu. Quran dan terus menuntut ilmu lah yang insya Allah akan menjaga naik-turunnya imanku dan menyibukkanku dengan amal shalih. Sehingga imanku pun naik-turunnya bisa bergradien positif atau trendnya meningkat (lebih banyak naiknya dibanding turunnya).

Sampai detik ini, seperti itulah perjalananku membersamai surat al-‘Ashr ini. Karena tulisan ini panjang banget dan mungkin berputar-putar hehe, maka aku coba simpulkan ya. Kesimpulan dariku begini:

1. Dua hal pertama yang harus ada padaku agar aku tidak merugi adalah iman dan amal shalih. Adanya iman mengakibatkan lahirnya amal shalih. Iman dan amal shalih ini satu paket. Seperti bunga dan bau harumnya. Dengan beramal shalih iman pun naik. Dengan maksiyat iman terpuruk.
2. Untuk yang imannya lebih banyak turunnya, dan amal shalihnya minimalis sepertiku, ayo bangun! Kita lakukan sesuatu supaya kita tak merugi. Kita cari cara agar iman lebih banyak naiknya. Agar amal shalih terus bertambah dan istiqamah.
3. Menurutku itu semua bisa dimulai dari hal yang mendasar-mengakar dan punya pengaruh besar terhadap hal lainnya. Yaitu, perbaikan hati (bathin) dan shalat (zhahir). Karena apabila hati baik, baik seluruh tubuh. Bila shalat baik, baik seluruh amalan lainnya. Perbaikan pada kedua hal ini akan membawa perubahan baik pada seluruh aspek dalam kehidupan kita.
4. Di samping itu, kita pun perlu waspada terhadap ancaman luar yang bisa melemahkan iman dan melumpuhkan amal shalih kita. Ancaman luar itu akan masuk melalui titik lemah yang pada setiap orang letaknya berbeda-beda. Cara agar iman-amal shalih bisa imun dari ancaman luar adalah dengan menjaga diri dari kelalaian-kelalaian yang sangat mudah diabaikan orang: menjaga lisan, pandangan, dan pendengaran dari yang tidak hak. Kalau terhadap kelalaian ‘kecil’ saja kamu sangat perhatian, maka apalagi terhadap kelalaian yang lebih besar dari itu?
5. Titik lemah tersebut harus ku tutupi. Dengan apa? Menyibukan diri dengan sesuatu yang bisa mendekatkan diri dan mengingatkanku akan Allah. Yakni, melihat/mendengar/membaca: Quran, Ilmu. Hal inilah yang akan menjadi ‘shockbreaker’ penjaga bilamana iman turun agar tak lama turunnya dan bisa melesat lagi. Menjadi pemicu agar amalku tetap dalam koridor kebaikan.Yah, secara teori seperti itu. Nyatanya hal ini sangat berat dilakukan. Butuh latihan panjang.

Begitulah penjalananku sejauh ini dalam membersamai al-‘Ashr. Bersyukur sekali Allah menggariskanku bergelut dengan ayat-ayatnya ini dan mendapatkan hikmah di dalamnya. Aku yakin yang sudah aku sentuh dari al-‘Ashr ini hanya bagian terluar dari permukaanya. Masih cetek. Masih ada misteri yang harus terus ku gali di dalamnya. Kalu memang ada kebenaran dalam tulisan ini, itu datangnya dari Allah. Sementara bila ada silap, itu semata-mata atas kerdilnya ilmuku. Dengan menuliskan pengalamanku ini, semoga saja teman-teman pembaca sekalian bisa share juga pengalamannya dalam merenungi dan berusaha mengamalkannya.

Oh my Rabb, ternyata kesimpulannya kepanjangan juga 😀

Yoweis lah, mudah-mudahan ada kesempatan waktu dan kesehatan untuk menuliskan perjalananku dengan bagian keduanya: “tawaa shaubil haq, tawaa shaubish shabr.”

Allahummarhamna bil Quraan..